Print
Hits: 331

Paradoks Legalitas dalam Isbat Nikah:

Antara Keadilan Sosial dan Kepastian Hukum

Oleh: T. Mufardisshadri, S.H.I., M.H. (Hakim Pengadilan Agama Sungailiat)

 

235d2c1c5d9bc0dcff37b3b5a64f3948 

 

Pendahuluan

Dalam sistem hukum nasional Indonesia, perkawinan tidak hanya dipandang sebagai peristiwa keagamaan atau adat, tetapi juga sebagai perbuatan hukum yang menimbulkan akibat keperdataan. Perkawinan menjadi dasar lahirnya berbagai hak dan kewajiban antara suami istri, status hukum anak, hingga pengaturan mengenai harta bersama. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan memiliki arti penting sebagai instrumen legalitas dan perlindungan hukum. Negara, melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, secara tegas mengamanatkan bahwa setiap perkawinan harus dicatat oleh pejabat yang berwenang agar diakui secara hukum. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menciptakan tertib administrasi, memberikan kepastian hukum, serta melindungi kepentingan para pihak, terutama perempuan dan anak yang sering kali berada pada posisi rentan dalam hubungan perkawinan.

Namun, dalam realitas sosial yang kompleks, tidak semua perkawinan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Masih banyak pasangan yang menikah hanya berdasarkan hukum agama tanpa mencatatkannya di Kantor Urusan Agama (KUA) atau instansi catatan sipil. Alasan yang melatarbelakangi praktik ini beragam, mulai dari faktor ekonomi, ketidaktahuan hukum, hingga keinginan untuk menghindari prosedur administratif. Akibatnya, perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum formal, dan segala akibat hukumnya; seperti hak waris, status anak, maupun hak atas harta bersama menjadi tidak terlindungi. Untuk menjembatani persoalan ini, negara menyediakan mekanisme “isbat nikah”, yaitu permohonan ke pengadilan agama untuk mengesahkan perkawinan yang telah dilangsungkan secara agama tetapi belum tercatat secara resmi. Walaupun dimaksudkan untuk memberi perlindungan hukum dan keadilan sosial, keberadaan mekanisme ini justru menimbulkan perdebatan yuridis karena dinilai membuka peluang pembenaran terhadap pelanggaran administrasi yang secara normatif dilarang oleh undang-undang.

1. Paradoks antara Legalitas dan Realitas Sosial

Secara normatif, Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa “tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Ketentuan ini menunjukkan bahwa pencatatan bukan sekadar formalitas administratif, melainkan merupakan syarat legalitas dan pembeda antara pernikahan yang sah secara hukum dan yang hanya sah secara agama. Melalui pencatatan, negara memastikan adanya kejelasan status hukum suami istri, perlindungan terhadap hak-hak anak, dan tertib administrasi kependudukan. Dengan demikian, prinsip pencatatan menjadi bagian dari rule of law dalam sistem hukum perkawinan Indonesia, di mana setiap tindakan hukum yang menimbulkan akibat keperdataan harus dapat dibuktikan secara autentik melalui dokumen resmi.

Namun dalam praktiknya, realitas sosial sering kali tidak sejalan dengan norma hukum. Banyak perkawinan dilaksanakan tanpa pencatatan resmi, terutama di kalangan masyarakat pedesaan, karena faktor ekonomi, keterbatasan pengetahuan hukum, atau pandangan bahwa pernikahan yang sah secara agama sudah cukup. Akibatnya, lahirlah persoalan hukum baru, seperti tidak diakuinya hubungan suami istri di mata negara, ketidakjelasan status anak, dan tidak terlindunginya hak perempuan terhadap harta bersama. Dalam konteks inilah kemudian muncul mekanisme isbat nikah sebagai bentuk judicial remedy untuk memberikan kepastian hukum terhadap perkawinan yang telah dilangsungkan secara agama namun belum tercatat oleh pejabat yang berwenang.

Ketentuan mengenai isbat nikah diatur dalam Pasal 7 ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam (KHI). Regulasi ini memberikan ruang bagi pasangan suami istri untuk mengajukan permohonan pengesahan perkawinan di pengadilan agama, terutama jika perkawinan tersebut dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 atau dalam kondisi tertentu yang sah menurut agama namun belum tercatat. Tujuan utama ketentuan ini sejatinya adalah memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak, agar mereka tidak kehilangan hak-haknya akibat kekosongan status hukum. Dalam konteks sosial, ketentuan ini dianggap sebagai langkah progresif negara untuk menghadirkan keadilan substantif di tengah kekurangan sistem administrasi hukum yang belum sepenuhnya menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Namun, di sisi lain, keberadaan ketentuan isbat nikah menimbulkan paradoks yuridis yang cukup tajam. Negara yang semula menegaskan pencatatan sebagai syarat sah dan wajib justru membuka mekanisme pembenaran terhadap pelanggaran administratif melalui jalur yudisial. Fenomena ini menjadikan isbat nikah seolah menjadi “jalan belakang” yang sah di mata hukum, padahal bertentangan dengan prinsip legalitas formal yang diatur dalam undang-undang. Akibatnya, lahir kesan bahwa hukum memberi toleransi terhadap ketidakpatuhan, yang pada gilirannya dapat menurunkan wibawa regulasi tentang pencatatan perkawinan itu sendiri. Dengan demikian, isbat nikah menjadi simbol dilema antara legalitas normatif dan realitas kemanusiaan — dua kutub yang terus berhadapan dalam sistem hukum perkawinan di Indonesia.

2. Asas Kepastian Hukum versus Keadilan Sosial

Isbat nikah sejatinya menghadirkan ketegangan antara dua asas fundamental hukum: di satu sisi terdapat Asas Kepastian Hukum (rechtzekerheid) yang menghendaki adanya keteraturan dan kejelasan dalam setiap perbuatan hukum; di sisi lain terdapat Asas Keadilan Sosial dan Perlindungan yang menuntut agar hukum memberikan rasa keadilan dan perlindungan bagi pihak-pihak yang lemah, khususnya perempuan dan anak. Asas kepastian hukum menegaskan bahwa hanya perkawinan yang dicatat secara resmi yang dapat diakui sebagai peristiwa hukum yang sah dan menimbulkan akibat hukum. Sedangkan asas keadilan sosial berangkat dari pandangan bahwa hukum harus hadir tidak hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk melindungi dan memulihkan hak-hak mereka yang terpinggirkan akibat ketidaktahuan, kemiskinan, atau ketidakterjangkauan layanan administrasi negara.

Dalam praktik peradilan agama, Mahkamah Agung dan para hakim di tingkat pertama seringkali memilih pendekatan keadilan substantif dibandingkan keadilan formal. Banyak perkara isbat nikah dikabulkan bukan karena terpenuhinya syarat administratif, melainkan demi perlindungan hukum bagi perempuan dan anak, serta untuk mencegah timbulnya mudarat sosial yang lebih besar. Pendekatan ini berpijak pada semangat maqaṣid al-syari’ah bahwa tujuan hukum Islam adalah menjaga kemaslahatan manusia, termasuk melindungi keturunan (ḥifẓ al-nasl) dan kehormatan (ḥifẓ al-‘ird). Dalam konteks ini, hakim agama berperan bukan hanya sebagai pelaksana undang-undang, tetapi juga sebagai penyeimbang antara teks hukum dan nilai kemanusiaan, memastikan hukum tidak kering dari rasa keadilan.

Namun, konsekuensi logis dari pilihan pendekatan tersebut adalah melemahnya fungsi pencatatan perkawinan sebagai instrumen kepastian hukum. Ketika pengadilan terlalu longgar dalam mengabulkan isbat nikah, muncul persepsi di masyarakat bahwa pencatatan bukan lagi kewajiban mutlak, melainkan sekadar formalitas yang bisa diabaikan selama nanti bisa “disahkan” di pengadilan. Kondisi ini berpotensi menimbulkan moral hazard: masyarakat menjadi permisif terhadap nikah siri, bahkan sebagian pihak memanfaatkannya untuk menghindari tanggung jawab hukum, seperti dalam kasus perkawinan kedua tanpa izin atau hubungan yang berpotensi melanggar hukum positif. Dengan kata lain, pendekatan keadilan sosial yang tidak diimbangi dengan ketegasan administratif justru dapat mengikis nilai kepastian hukum itu sendiri.

Dilema inilah yang menyebabkan hukum perkawinan di Indonesia tampak memiliki dua wajah. Di satu sisi, negara tegas menegakkan norma formal melalui kewajiban pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; namun di sisi lain, negara melalui lembaga peradilan memberikan legitimasi terhadap praktik yang sebenarnya melanggar norma tersebut melalui jalur isbat nikah. Fenomena ini menggambarkan adanya dualitas kebijakan hukum: hukum formal menuntut kepatuhan terhadap aturan tertulis, sementara hukum substantif mengakomodasi realitas sosial yang kompleks. Akibatnya, hukum tampak “melarang di permukaan, tetapi membenarkan melalui pintu belakang yudisial”. Ketegangan antara kedua asas ini belum sepenuhnya terselesaikan, dan menjadi pekerjaan rumah besar bagi pembentuk undang-undang maupun lembaga peradilan dalam menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan sosial.

3. Konsekuensi Yuridis dan Moral

Kontradiksi yang melekat dalam praktik isbat nikah tidak hanya berhenti pada tataran normatif, melainkan juga menimbulkan implikasi sosial dan moral yang cukup serius dalam kehidupan masyarakat. Di satu sisi, kebijakan ini membawa manfaat karena mampu menyelesaikan berbagai persoalan keperdataan yang timbul akibat perkawinan tidak tercatat, seperti status anak, hak waris, dan hak nafkah istri. Namun di sisi lain, mekanisme yang awalnya dimaksudkan sebagai solusi darurat (extraordinary remedy) justru perlahan berubah menjadi celah pembenaran terhadap pelanggaran administratif. Fenomena ini menunjukkan adanya sliding effect atau pergeseran dari tujuan ideal hukum menuju kebiasaan sosial yang justru melemahkan otoritas hukum itu sendiri.

Dari perspektif administratif, isbat nikah menimbulkan apa yang disebut moral hazard, yaitu sikap permisif masyarakat terhadap pelanggaran hukum karena adanya jaminan koreksi di kemudian hari. Banyak pasangan yang dengan sengaja melangsungkan nikah siri dengan keyakinan bahwa jika suatu saat dibutuhkan, mereka dapat mengajukan isbat nikah untuk memperoleh legalitas formal. Pola berpikir seperti ini menimbulkan efek domino terhadap tertib administrasi negara. Fungsi pencatatan perkawinan menjadi kehilangan makna preventifnya, sebab masyarakat tidak lagi melihatnya sebagai kewajiban hukum, melainkan hanya sebagai opsi administratif yang bisa dipenuhi kemudian. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menurunkan kesadaran hukum (legal awareness) dan merusak integritas sistem pencatatan sipil di Indonesia.

Sementara dari sisi yuridis, peradilan agama berada dalam posisi dilematis. Di satu pihak, hakim memiliki kewajiban konstitusional untuk menegakkan hukum positif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan turunannya. Namun di pihak lain, hakim juga dibebani tanggung jawab moral dan sosial untuk menyelamatkan hak-hak perempuan dan anak yang terabaikan akibat tidak tercatatnya perkawinan. Dalam situasi seperti ini, hakim seringkali dipaksa mengambil posisi kompromi: mengesahkan sesuatu yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip hukum formil demi keadilan substantif. Kondisi ini menggambarkan tugas ganda hakim agama yaitu sebagai pelaksana undang-undang sekaligus penegak nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat.

Dengan demikian, isbat nikah berada di antara dua kutub yang saling berseberangan: penegakan norma dan penyelamatan akibat sosialnya. Di satu sisi, hukum harus menjaga wibawa aturan formal agar tidak kehilangan kekuatan mengikat; di sisi lain, hukum juga tidak boleh abai terhadap kenyataan sosial yang kompleks dan penuh keterbatasan. Ketegangan inilah yang membuat isbat nikah menjadi fenomena hukum yang unik sekaligus problematis. Ia hadir sebagai kompromi antara teks dan konteks, antara keadilan normatif dan keadilan substantif. Namun selama belum ada regulasi yang mampu menegaskan batas-batasnya secara tegas, praktik ini akan terus melahirkan ambiguitas hukum, yaitu hukum yang tampak menyelamatkan, tetapi sekaligus menormalisasi pelanggaran terhadap dirinya sendiri.

4. Upaya Harmonisasi

Untuk mengurangi kontradiksi antara norma hukum dan realitas sosial dalam praktik isbat nikah, diperlukan upaya harmonisasi yang terencana dan berimbang. Hukum tidak dapat terus-menerus dibiarkan berjalan dalam dua arah yang bertentangan antara penegakan legalitas formal dan penerapan keadilan substantif. Harmonisasi ini bertujuan agar prinsip pencatatan perkawinan tetap dihormati sebagai pilar kepastian hukum, sementara pada saat yang sama tetap memberikan ruang kemanusiaan bagi mereka yang benar-benar terpaksa berada di luar sistem pencatatan resmi. Pendekatan ini tidak hanya penting dari sisi normatif, tetapi juga untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap konsistensi hukum negara, bahwa hukum mampu menegakkan disiplin tanpa kehilangan nurani sosialnya.

Salah satu langkah penting adalah membatasi secara ketat objek dan ruang lingkup permohonan isbat nikah. Misalnya, pengesahan perkawinan hanya dapat diberikan untuk pernikahan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, atau dalam kondisi luar biasa seperti bencana alam, kehilangan dokumen, atau kesalahan administratif yang tidak disengaja. Pembatasan ini bertujuan agar isbat nikah benar-benar difungsikan sebagai mekanisme korektif yang bersifat kasuistik, bukan sebagai sarana legalisasi terhadap kelalaian hukum. Dengan begitu, masyarakat tetap memiliki dorongan kuat untuk mematuhi kewajiban pencatatan perkawinan sejak awal, bukan mengandalkan pengesahan di kemudian hari melalui jalur pengadilan.

Selain itu, perlu dilakukan penguatan fungsi preventif Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai ujung tombak pelayanan pencatatan perkawinan. KUA tidak hanya berperan administratif, tetapi juga harus aktif melakukan edukasi hukum kepada masyarakat bahwa pencatatan merupakan bagian dari ibadah sosial yang membawa maslahat, bukan sekadar urusan birokrasi. Di sisi lain, hakim pengadilan agama juga perlu menerapkan penafsiran restriktif dalam mengadili perkara isbat nikah—hanya mengabulkan perkara yang benar-benar memenuhi kriteria objektif dan bersifat mendesak. Dengan kombinasi peran tersebut, isbat nikah dapat kembali pada fungsinya yang semula: bukan sebagai celah pelanggaran, tetapi sebagai instrumen kemanusiaan yang menjaga keseimbangan antara tertib hukum dan perlindungan social.

Kesimpulan

Untuk mengurangi kontradiksi antara norma hukum dan realitas sosial dalam praktik isbat nikah, diperlukan upaya harmonisasi yang terencana dan berimbang. Hukum tidak dapat terus-menerus dibiarkan berjalan dalam dua arah yang bertentangan antara penegakan legalitas formal dan penerapan keadilan substantif. Harmonisasi ini bertujuan agar prinsip pencatatan perkawinan tetap dihormati sebagai pilar kepastian hukum, sementara pada saat yang sama tetap memberikan ruang kemanusiaan bagi mereka yang benar-benar terpaksa berada di luar sistem pencatatan resmi. Pendekatan ini tidak hanya penting dari sisi normatif, tetapi juga untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap konsistensi hukum negara, bahwa hukum mampu menegakkan disiplin tanpa kehilangan nurani sosialnya.

Salah satu langkah penting adalah membatasi secara ketat objek dan ruang lingkup permohonan isbat nikah. Misalnya, pengesahan perkawinan hanya dapat diberikan untuk pernikahan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, atau dalam kondisi luar biasa seperti bencana alam, kehilangan dokumen, atau kesalahan administratif yang tidak disengaja. Pembatasan ini bertujuan agar isbat nikah benar-benar difungsikan sebagai mekanisme korektif yang bersifat kasuistik, bukan sebagai sarana legalisasi terhadap kelalaian hukum. Dengan begitu, masyarakat tetap memiliki dorongan kuat untuk mematuhi kewajiban pencatatan perkawinan sejak awal, bukan mengandalkan pengesahan di kemudian hari melalui jalur pengadilan.

Selain itu, perlu dilakukan penguatan fungsi preventif Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai ujung tombak pelayanan pencatatan perkawinan. KUA tidak hanya berperan administratif, tetapi juga harus aktif melakukan edukasi hukum kepada masyarakat bahwa pencatatan merupakan bagian dari ibadah sosial yang membawa maslahat, bukan sekadar urusan birokrasi. Di sisi lain, hakim pengadilan agama juga perlu menerapkan penafsiran restriktif dalam mengadili perkara isbat nikah—hanya mengabulkan perkara yang benar-benar memenuhi kriteria objektif dan bersifat mendesak. Dengan kombinasi peran tersebut, isbat nikah dapat kembali pada fungsinya yang semula: bukan sebagai celah pelanggaran, tetapi sebagai instrumen kemanusiaan yang menjaga keseimbangan antara tertib hukum dan perlindungan social.

Daftar Bacaan:

-        Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

-        Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.

-        Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

-        Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

-        Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

-        Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2016.

-        M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2015.

-        Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2014.

-        Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 2000.

-        Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.

-        A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019.

-        Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015.

-        Mahkamah Agung RI, Kompilasi Hukum Islam dan Pedoman Pelaksanaannya di Pengadilan Agama, Jakarta: Direktorat Jenderal Badilag, 2021.

-        Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Gema Insani, 1996.

-        Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah, Bandung: Mizan, 1994

-        Nurul Huda, “Isbat Nikah sebagai Upaya Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak dalam Perspektif Keadilan Restoratif,” Jurnal Hukum Islam dan Sosial, Vol. 8 No. 2 (2022).

-        Lilik Mulyadi, “Dualisme Legalitas dan Keadilan dalam Praktik Isbat Nikah di Pengadilan Agama,” Jurnal Yudisial, Vol. 13 No. 1 (2020).

-        Rahmat Taufiq, “Kepastian Hukum dan Perlindungan Sosial dalam Isbat Nikah: Analisis Putusan Pengadilan Agama,” Al-Manhaj: Jurnal Hukum Islam dan Sosial, Vol. 7 No. 1 (2021).

-        Sri Wahyuni, “Fenomena Nikah Siri dan Implikasinya terhadap Penegakan Hukum Perkawinan di Indonesia,” Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol. 51 No. 3 (2021).

-        Muhammad Amin Suma, “Eksistensi Isbat Nikah dalam Sistem Hukum Nasional,” Jurnal Hukum Islam Indonesia, Vol. 10 No. 2 (2019)

-        Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 191 K/AG/2015 tentang Pengesahan Perkawinan Tidak Tercatat.

-        Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1025/Pdt.P/2019/PA.JS tentang Isbat Nikah.

-        Badan Peradilan Agama, Pedoman Administrasi dan Prosedur Isbat Nikah di Pengadilan Agama, Jakarta: Ditjen Badilag MA RI, 2022.